7 tokoh
kebudayaan beserta kutipannya
1.Ahmad tohari
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas,
Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 68 tahun) adalah sastrawan dan budayawan
berkebangsaan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. [1] Karya monumentalnya,
Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat
dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah,
yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas
Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas
Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).
Tulisan-tulisannya berisi gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Ia
juga menjadi pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.
kutipan : bagaimana bisa, manusia tetap eksis ketika
kemanusiaan telah mati?
2.Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26
November 1948; umur 67 tahun) adalah penulis dan wartawan Indonesia yang aktif
di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS. Mempunyai nama asli
Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang
komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkannyalah nama
ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang.
Kutipan : Ada yang mengatakan saya ini gila menulis. Ini
mendekati benar, karena kalau tidak menulis saya pastilah gila, dan karena gila
makanya saya menulis.
3.Butet Kertaredjasa
Butet Kartaredjasa (bahasa Jawa: Buthèt Kartaredjasa; lahir
di Yogyakarta, 21 November 1961; umur 54 tahun) adalah seorang pemeran teater
dan pelawak asal Indonesia. Pada tahun 1996, Butet mendirikan Galang
Communication, sebuah institusi periklanan dan studio grafis, yang kemudian
diikuti dengan mendirikan Yayasan Galang yang bergerak dalam pelayanan kampanye
publik untuk masalah-masalah kesehatan reproduksi berperspektif gender. Butet
adalah anak dari Bagong Kussudiardjo, koreografer dan pelukis senior Indonesia.
Ia merupakan saudara kandung dari Djaduk Ferianto.
Kutipan : Teater telah mengajarkan saya, bawa kita hanyalah
bagian dari hidup, bagian dari orang lain. Seorang aktor tak pernah hidup
sendirian.
4.Emha Ainun Nadjib
Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib
atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 63 tahun) adalah
seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami.
Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh
yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya yang kemudian
kalimatnya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora
patheken". Emha juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan
pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang ditulisnya.
Kutipan : Cinta bukanlah bertahan seberapa lama. Tetapi
seberapa jelas dan ke arah mana.
5.Mohammad Yamin
Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto,
Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada
umur 59 tahun) adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli
hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan
salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus
"pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan
Indonesia.
Kutipan : Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong
kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada
akar sejarah bangsa kita sendiri.
6.Supriyanto GS
Supriyanto GS atau lebih dikenal dengan nama Prie GS (lahir
di Kendal, Jawa Tengah) adalah budayawan berkebangsaan Indonesia. Dia mengawali
kariernya sebagai wartawan di harian umum Suara Merdeka Semarang, Jawa Tengah.
Prie GS juga dikenal sebagai kartunis, penyair, penulis, dan public speaker di
berbagai seminar, diskusi, dan menjadi host untuk acaranya sendiri, baik di
radio maupun televisi.
Kutipan : Kehebatan seorang istri baru terbukti ketika ia
sedang pergi.
7.Sujiwo Tejo
Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus
1962; umur 54 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang
budayawan Indonesia. Ia pernah mengikuti kuliah di ITB, namun kemudian mundur
untuk meneruskan karier di dunia seni yang lebih disenanginya[1][2]. Sempat
menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi
seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang[3][4]. Selain itu ia juga
sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan
Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang
berarti "Ketawa Bareng Tejo".Dalam aksinya sebagai dalang, dia suka
melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik, Pandawa
dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari pola
hitam putih dalam pagelarannya.
Kutipan : Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar
dikejar. Berjuang tak sebercanda itu.
No comments:
Write comments